Gebasan, Tradisi Bersih Makam yang Tak Pernah Ditinggalkan

 Gebasan, Tradisi Bersih Makam yang Tak Pernah Ditinggalkan

10 September 2020

Indah Mutiara

Rombongan pemuda dan laki-laki dewasa terlihat beramai-ramai berjalan kaki menuju makam di Desa Logandu, Kecamatan Karanggayam. Di tangan mereka, terlihat ada yang menggenggam sapu dan ember. Ada pula yang terlihat memikul cangkul dan menggenggam pancong di tangan kirinya.

Para perempuan berjalan mengikuti rombongan di belakang. Bedanya, mereka hanya memegang buku yasin di tangan kanan. Tangan kirinya dibiarkan kosong menyapu jalanan. Obrolan mereka ditemani suara burung-burung yang seolah ikut berbicara.

Rombongan itu datang sekitar pukul 07.00 pagi pada hari Jumat, 14 Agustus 2020 untuk membersihkan makam leluhur dan juga sanak saudara. Mereka rupanya melakukan tradisi Gebasan, sebuah tradisi membersihkan makam leluhur yang masih dijunjung tinggi oleh warga Desa Logandu. Gebasan dilakukan sebanyak tiga kali dalam satu tahun.

“Kalau Gebasan itu biasanya satu tahun 3 kali, pada bulan Syaban, Rabiul Akhir, dan Besar,” tutur Senuk, salah satu warga Desa Logandu yang juga ikut dalam acara Gebasan. Ia membersihkan makam mbah buyutnya dan sanak saudara yang sudah tiada.

Padang dalane, jembar pakuburane’  merupakan isi salah satu doa yang dipanjatkan oleh Senuk saat membersihkan makam. Tradisi Gebasan ini bertujuan untuk mendoakan para leluhur yang sudah mendahalui agar senantiasa diampuni dosa-dosanya dan ditempatkan di sisi terbaik oleh sang maha kuasa. Tak jarang, para warga membaca surat yasin bersama selepas membersihkan makam.

Selain membawa alat-alat kebersihan, beberapa orang laki-laki membawa upet dan kemenyan untuk dibakar saat memanjatkan doa.

“Upet ini adalah kumpulan mancung kelapa yang  sudah dipotong kecil, kemudian diikat,” tuturnya lagi.

Fungsi upet adalah sebagai alat untuk menyalakan kemenyan. Sebelum kemenyan dibakar, upet terlebih dahulu dibakar, barulah upet ini digunakan untuk menyalakan kemenyan. Pada saat membakar kemenyan, warga memohon doa untuk para leluhur yang sudah mendahului agar diampuni dosa-dosanya. Orang-orang yang membawa dan menyalakan upet bukanlah sembarang orang. Orang-orang inilah yang disebut sesepuh desa. Mereka dipercaya untuk memimpin doa selepas kegiatan bersih-bersih makam.

Gebasan terdiri atas beberapa rangkaian kegiatan. Hal pertama yang dilakukan adalah bersih makam dan dilanjutkan doa bersama di samping makam. Terkadang, kegiatan bersih makam diakhiri dengan membaca surat yasin bersama-sama. Kegiatan bersih makam dilanjutkan dengan kenduri di halaman rumah kepala desa dengan digelar beberapa klasa atau karpet. Warga yang datang duduk melingkar menggunakan pakain rapi dan sopan, karena taka da aturan mengenai pakaian saat melakukan kenduri. Halaman rumah yang digunakan harus cukup luas untuk menampung beberapa perwakilan tiap dusun dan juga para perangkat desa yang datang menghormati acara.

Ada beberapa ubo rampe atau makanan khas yang wajib ada dalam kenduri tersebut agar doa yang dipanjatkan bisa sampai pada tujuan dan segera dikabulkan.

“Ya ada ayam jawa, kethengan, srundeng, jenang abang putih, dan rakan. Rakan itu gorengan singkong dan jono,” ucapnya menambahkan.

Namun, jika ada salah satu ubo rampe yang tidak tersedia, bisa diganti dengan makanan lain yang sejenis. Misalnya, jika tidak ada jono, maka jono bisa diganti dengan ubi jalar. Selama ubo rampe masih tersedia, sangat disarankan untuk tidak mengganti makanan tersebut.

Selain melakukan kenduri bersama di halaman rumah kepala desa, warga juga melakukan selametan di dalam rumah masing-masing. Selamatan dilakukan dengan menyediakan sesajen yang terdiri atas beberapa ubo rampe yang sedikit berbeda dengan ubo rampe dalam kegiatan kenduri bersama. Ubo rampe yang disiapkan berupa sayur, ayam, peyek, rokok, dan kinang. Masyarakat percaya bahwa roh leluhur mungkin saja tilik atau berkunjung ke rumah karena mengikuti orang-orang yang melakukan bersih makam pada pagi harinya.

Istilah ‘Gebasan’ lahir dari kata ‘Gebas’. Di Desa Logandu, menurut Mardiadi, salah satu sesepuh desa, kata Gebas dimaknai dengan membersihkan. Gebasan berarti membersihkan makam para leluhur yang sudah gugur.

Secara batiniah, Gebasan dimaknai sebagai kegiatan untuk memohon keselamatan untuk para leluhur agar diampuni kesalahannya. Hal ini dibarengi dengan kegiatan membkar kemenyan sebagi simbol dihapuskannya dosa-dosa yang telah lalu. Hal ini, kata Mardiadi, merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang dan sudah dilaksanakan sejak dahulu kala.

“Ya sudah lama sekali, sudah ada dari masa Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit, kira-kira dari tanggal 4 Syaban hingga 1 Syawal tahun 1362 masehi,” ujarnya.

Dengan adanya tradisi Gebasan, masyarakat juga membiasakan diri untuk hidup bersih dan sehat, tuturnya. Adanya Gebasan ini diharapkan dapat membangkitkan semangat warga untuk selalu menjaga kebersihan di manapun kita berada, bahkan di makam sekalipun.

Selain sebagai bentuk pelestarian budaya dari nenek moyang dan juga pembiasaan untuk hidup bersih, Gebasan merupakan wadah bagi warga untuk saling berinteraksi dan bersosialisasi dengan sesamanya. Karena dalam acara ini, warga bertemu dan bekerja sama untuk membersihkan makam para leluhur dengan gotong royong. Selain bersosialisasi, warga berkesempatan untuk menyambng tali silaturahmi dengan sesama.

Tujuan utama Gebasan yaitu untuk memanjatkan doa untuk para leluhur yang telah tiada dengan kegiatan bersih makam bersama-sama. Selain itu, ternyata Gebasan memilki banyak manfaat lain yakni sebagai pembiasaan hidup bersih dan sarana silaturahmi bagi warganya.

 



Postingan populer dari blog ini

Mbok Cok, Aktivis Kritis Krisis Air